Pages

Labels

Minggu, 30 November 2014

Aku dan Bunga Kamboja



Aku menyukai bunga kamboja. Menurutku, tanaman kamboja itu terlihat anggun. Ketika bunganya mekar serempak, terlihat sangat indah.

Aku sendiri agak kebingungan bagaimana mau menanam kamboja. Soalnya tanamannya yang kecil lumayan mahal. Apalagi pohonnya yang sudah berukuran besar. Tapi untungnya di sekolah aku sempat memungut biji kamboja yang sudah masak. Biji itu kubawa pulang dengan niat akan kusemai supaya tumbuh, namun sayangnya kemudian ia hilang.

Waktu demi waktu berlalu. Entah sudah berapa bulan sejak benih kambojaku hilang. Aku bertandang ke rumah kakak sepupuku. Eh, di sana aku menemukan pot berisi dua tanaman kamboja kecil di depan rumahnya. Aku tanya dapat darimana, eh, dia bilang dapat dari ibuku. Loh, kok aku nggak tahu kalau ibu pernah punya bunga kamboja? Jangan-jangan.... Selidih punya selidik, ternyata sewaktu baru tumbuh, tanaman itu dikira benih alamanda, soalnya bentuk daunnya sewaktu kecil emang mirip sih. Saudaraku itu emang pengin bunga alamanda. Kemudian aku berpesan kalau dia ga suka tanaman itu boleh dikasih ke aku, hahaha....

Beberapa hari kemudian terdengar kabar mengejutkan. Suami sepupuku membuang kembang kamboja itu. Katanya dia tidak suka dengan kembang kuburan. Aku syok. Untungnya kakak sepupuku menemukannya di tumpukan sampah. Akhirnya kembang itu dikasih ke aku.

Nah, aku dapat dua batang bibit kamboja. Satu kutanam di sebelah bibit durian milik bapak. Satunya lagi sudah terlanjur kering batangnya, kupotong ujungnya yang masih segar buat ditanam. Seteknya kutanam di gelas plastik, tapi karena keseringan kusiram malah jadi busuk. Untung yang kutanam di sebelah pohon durian tumbuh sehat.

Waktu demi waktu berlalu. Suatu ketika aku menengok kembang kambojaku. Tetapi yang kulihat hanya sebatang pohon durian setinggi satu setengah meter yang tumbuh sendirian. Aku yakin sekali bahwa kembang kambojaku dicabut orang. Aku heran. Sepertinya orang-orang tidak menyukainya. 




Aku pun berkeliling di sekitar pohon durian. Di bawah rumpun pisang aku menemukan bibit kambojaku dalam keadaan kering dehidrasi. Daunnya rontok semua. Aku berharap di tidak sedang sekarat.

Buru-buru kubawa ke kebun dekat empang. Aku tanam di sana karena sepertinya tidak akan ada yang mengganggunya di sana. Kututupi tanah sekitarnya dengan rerumputan supaya tidak lekas kering sehabis disiram.

Sungguh beruntung, tanaman kamboja memang cukup tangguh. Sekarang dia telah sehat. Daunnya mulai rimbun. Pertumbuhannya memang lambat. Tapi aku menyayanginya. 


Sing Asli Ra Ngapusi



Beberapa waktu belakangan aku menyadari bahwa sesuatu yang ASLI benar-benar memuaskan hati. Maksudnya asli itu adalah yang alami, apa adanya, dinikmati pada waktunya.

Pertama adalah mangga. Mangga gadung yang dijual di pinggir jalan dan mangga gadung yang tumbuh di depan rumah adalah sama-sama mangga gadung. Tapi mangga gadung yang dijual di pinggir jalan biasanya kurang manis. Manisnya ga komplit, soalnya keburu dipanen sebelum matang. Sedangkan mangga depan rumah biasanya dimakan ketika sudah matang dari pohon. Kandungan gulanya sudah pas, jadi manisnya benar-benar maknyus. Rasa manis mangga matang pohon emang ga bohong, asli enaknya!

Kedua adalah tanah. Aku baru menyadari bahwa tanah dari jenis yang berbeda memiliki aroma yang berbeda-beda pula. Beberapa hari yang lalu aku mencabut benih kembang untuk kukasih ke temanku. Kebetulan dulu aku menanamnya di ceruk yang kuisi dedaunan kering kucampur tanah. Waktu kugali-gali, kucium-cium, aroma tanahnya benar-benar segar, enak banget. Struktur tanahnya pun gembur. Beda dengan tanah tandus yang tidak begitu jelas. Aku mulai curiga bahwa selama ini aku sering menggunakan tanah yang salah untuk menyemai tanaman. Pantas saja tumbuhnya kurang bagus.

Senin, 24 November 2014

Malam Mingguan Bareng Ibu-Ibu Tetangga


 Kemarin aku pulang kampung. Biar cuma sehari, tapi cukup untuk mengobati kerinduan akan suasana rumah. Kangen banget sama tanaman-tanaman di kebun.

Sorenya, ibu ngajakin ke rumah tetangga. Di sana mereka bakalan bikin pesta jagung bakar. Soalnya, jagung di ladang udah waktunya panen. 

Di sana jagungnya sudah ditebas. Tapi tangkainya masih dibiarkan panjang biar bisa sekalian dipakai gagang buat bakaran. Jadi ga perlu ditusuk kayu lagi.

Agak susah sih waktu mau nyalain arangnya. Kadang apinya yang berkobar-kobar, kadang kaya mau mati. Banyak asap. Tapi ya sudahlah, yang penting bisa dipakai bakar jagung.

Lumayan juga hasil bakaranku. Meski agak gosong di sana-sini dan sebagian masih agak mentah, cukup enak juga rasanya. Apalagi karena jagungnya emang baru metik dari batangnya. Enak abis. Kami ga pake bumbu aneh-aneh sih, Cuma mentega doang, tapi hasilnya lumayan.

Pengin deh, bakaran jagung lagi. Tapi musti nunggu musim tanam jagung tahun depan deh kayaknya. Hahahaha....

Sabtu, 22 November 2014

Beberapa Hal Luar Biasa di Keluargaku



Sekali waktu ibuku beli handuk bukan buat ngeringin badan habis mandi. Handuk itu dibeli buat dijadikan keset. Tapi emang keset dari handuk lebih efektif buat ngeringin kaki dibanding keset yang dijual di toko.

Ibuku beli kain daster bukan untuk dibikin baju. Kain itu dijahit untuk dijadikan seprai. Tapi emang seprai dari kain daster lebih lembut dan lebih nyaman dibanding seprai yang dijual di toko.

Aku dan ibuku suka menanam tanaman hias, bahkan di kebun tetangga. Kebetulan ada tetangga kami yang memiliki pohon gersang di depan rumahnya. Pohon itu sebetulnya masih hidup, hanya saja daunnya kecil-kecil dan jarang. Rantingnya pun berduri. Kami berniat menghijaukan pohon itu. Ibuku menanam markisa, sedang aku menanam bunga nona makan sirih. Diam-diam kami bersaing; tanaman siapa yang tumbuh lebih cepat dan menyelubungi pohon tetangga.